KITAB UPANISHAD
Upanisad disusun dalam jangka waktu yang panjang, upanisad yang tertua diantaranya Brhadaranyaka Upanisad dan Chandogya Upanisad, diperkirakan disusun pada abad ke delapan sebelum masehi. Merujuk pada Ashtadhyayi yang disusun oleh Maharsi Panini, jumlah upanisad yang ada sebanyak 900. Begitu pula Maharsi Patanjali menyatakan jumlah yang sama. Namun saat ini kebanyakan sudah musnah seiring dengan waktu.
Kitab-kitab Upanisad diperkirakan muncul setelah kitab-kitab Brahmana yaitu sekitar 800 tahun sebelum Masehi. Jumlahnya amat banyak, lebih dari 200 judul, namun Muktika Upanisad menerangkan jumlahnya 108 buah dan banyak di antaranya berasal dari jaman yang tidak terlalu tua. Upanisad-Upanisad tua dan penting ialah:
- Isa Upanisad
- Kena Upanisad
- Katha Upanisad
- Prasna Upanisad
- Mundaka Upanisad
- Mandukya Upanisad
- Taittiriya Upanisad
- Aitareya Upanisad
- Chandogya Upanisad
- Brhadaranyaka Upanisad
- Kausitaki Upanisad
- Maitrayaniya Upanisad
· SvetasvataraUpanishad
Kata Upanisad artinya duduk di bawah dekat guru. Kata ini erat hubungannya dengan sakhas yaitu kelompok orang yang mempelajari Veda. Pada sakhas itu duduk beberapa murid terpilih (dipilih berdasarkan kesetiannya pada guru dan kejujurannya) di bawah mengelilingi seorang guru. Apa-apa yang diajarkan oleh guru tersebut kemudian dikumpulkan menjadi kitab Upanisad. Karena sakhas itu banyak maka Upanisad itupun banyakpulajumlahnya.
Dari sakhas yang banyak jumlahnya itu sebagian besar lenyap dalam perjalanan jaman, dan untuk masing-masing Veda tinggal memiliki beberapa sakhas dan Upanisad yang penting-penting saja.
Dari sakhas yang banyak jumlahnya itu sebagian besar lenyap dalam perjalanan jaman, dan untuk masing-masing Veda tinggal memiliki beberapa sakhas dan Upanisad yang penting-penting saja.
SWETA SWATARA UPANISAD
Kitab Swetaswatara adalah merupakan kitab Sruti yang tergolong pada kitab Taittiriya pada Yajur Weda. Nama Sweswatara tidak jelas tetapi banyak para akhli Indologi berpendapat bahwa nama ini adalah nama Maharsi yang menghimpun dan menyusunnya Sweta artinya putih atau bersih atau suci. Aswa adalah indriya atau panca indra.
Melihat isinya dapat disimpulkan bahwa kitab Swetaswatara memusatkan pokok bahasanya pada ajaran ketuhanan yang berusaha menjelaskan bahwa otensitas ajaran menurut Weda adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan penemuan dan penulisan kitab Swetaswatara itu dimaksud untuk lebih menjelaskan dan menegaskan bahwa ajaran Weda adalah bersifat Monothesitis.
Dalam menulis atau menyusun pokok-pokok penjelasan ajaran weda, terutama yang bersumber dari Yajur Weda itu, Maharsi telah berusaha dengan secara sistim dan metodologinya untuk memberi kejelasan tentang pengertian Tuhan yang didalam kitab itu lebih umum disebut dengan gelar Brahman (n). apa yang dibahas meliputi mulai dari pengertian, sifat-sifatnya, cara mencapai tujuan atau sebagai jalan agar sampai pada pengertian yang benar atau sebagai jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Masih banyak lagi yang dapat kita kemukakan yang tentunya untuk memahami dan mengkajinya perlu membacanya dengan teliti baik terjemahan maupun teksnya agar supaya dapat mengerti dengan jelas.
Oleh karena dasar bahasa mencakup masalah ajaran Ketuhanan, maka tidak jarang kalau kitab Swetaswatara sering dijadikan sebagai bahan referensi sumber informasi yang amat penting dalam mempelajari Theology Hindu Dharma, disamping berbagai kitab lainnya dalam mempelajari filsafat Hindu. Dari dalam kitab ini pula kita mulai mendapat kejelasan pengertian tidak saja mengenai arti Tuhan Yang Maha Esa itu saja tetapi juga tentang sifat pengertian immanen dan transcenden yang pada dasarnya memang sangat sukar untuk dicerna dan dimengerti oleh orang biasa. Demikian pula mengenai hakekat umum diterapkan oleh agama Buddha sebagai jalan menuju pada kesempurnaan hidup manusia, baik rokhani maupun jasmani.
Kitab Swetaswatara Upanisad terbagi atas enam bab. Masing-masing bab terbagi atas beberapa topic atau sub pokok bahasan yang umumnya merupakan syair-syair singkat saja. Keseluruhan isinya terdiri atas 111 sair atau sloka yang tidak sama pula panjangnya. Adapun keseluruhan isinya singkatnya adalah sebagai berikut :
þ Bab I terdiri atas 16 sloka atau sair
þ Bab II terdiri atas 17sloka atau sair
þ Bab III terdiri atas 21 sloka atau sair
þ Bab IV terdiri atas 22 sloka atau sair
þ Bab V terdiri atas 14 sloka atau sair, dan
þ Bab VI terdiri atas 23 sloka atau sair.
Dari daftar isi ini tampak bahwa Bab V merupakan bab terpendek, terdiri atas 14 sloka sedangkan Bab VI merupakan bab terpanjang, terdiri atas 23 sloka. Melihat dari isinya maka secara singkar garis besar pokok isi kitab Swetaswatara Upanisad ini dapat disimpulkan sebagai berikut dibawah ini.
Bab I, yaitu yang merupakan bagian pertama dari kitab itu mencoba mengungkapkan permasalahan pokok yang menjadi topik bahasan yang selalu dibahas dalam pondok-pondok pasraman antara guru Brahmana yang dianggap akhli dengan para muridnya atau cantriknya yang telah diinisiasi menjadi brahmacari. Pokok bahasan ini terutama menyangkut pemikiran-pemikiran tentang pengertian mengenai hakekat Ketuhanan baik sebagai ajaran maupun sebagai jalan yang didalam Weda pengertiannya belum dapat dipahami dengan jelas dan tegas. Sebagai bahasan tentang hakekat itu maka para pengkaji memerlukan nama dan karena itu timbullah pemberian nama mengenai hakekat itu, yaitu dengan nama atau gelar Brahman untuk menamakan hakekat itu yang sekarang lebih kita kenal dengan nama Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai nama umum. Dengan demikian maka gelar Brahman pun maksudnya adalah sebagai nama umum atau biasa yang harus dapat diterima atau sedikit-tidaknya bisa diterima secara rasional. Oleh karena itu dipersoalkan pula apakah itu identik dengan pengertian Tuhan Yang Maha Esa atau tidak.Ini satu pertanyaan yang dikemukakan dan harus dapat dijelaskan berdasarkan ungkapan-ungkapan yang ada dalam Weda (mantra) sebagai pembuktian otentik.
Sebagai dasar dikemukakan bahwa hakekat Ketuhanan adalah dasar (sumber utama) atau penyebab pertama yang adaNya tanpa ada yang mengadakan kecuali diriNya sendiri. Dia ada melainkan sendiri dan sebagai sebab Ia disebut sebagai pemberi hidup yang menghidupkan semua ciptaan ini, sebagai pencipta yang mengadakan seluruh alam semesta dengan segala isinya dan lain-lain sebaginya menurut sifat dan nama sifat atau gelar yang diberikan kepadaNya oleh manusia menurut bahasa manusia dengan sifat manusia yang menamakanNya.
Masalah kedua yang dipersoalkan adalah sifat hakekat itu sendiri yang bersifat relative yang membedakanNya dari sifat-sifat keabsolutannya yang hakiki, seperti waktu, tempat dan unsur elemen yang pada hakekatnya merupakan hakekat sifat phenomena dan impirisis. Oleh karena masalahnya dianggap sangat sulit untuk dapat dipahami tanpa perenungan yang mendalam maka sifat pengertian dan hubunan dasar pengertian berbagai phenomena itu tidak mungkin dapat dipikirkan begitu saja tanpa perenungan yang mendalam dan dalam keheningan bathin. Dengan diperlukannya perenunganyang mendalam serta keheningan bathin maka dianggap perlu adanya satu metode pendekatan dalam perenungan itu yang melahirkan pentingnya arti yoga-samadhi dimana bila yang penerapannya diikuti dengan keyakinan yang mendalam (bhakti) maka pikiran tidak akan tergoyahkan dalam kontak hubungan kejiwaan itu.
Kontak kejiwaan ini merupakan bentuk “Samadhi” atau “dhyana – Samadhi” dimana melalui kekuatan penglihatan bathin akhirnya dapat diketahui berbagai hakekat yang berbeda-beda dari yang satu dengan yang lain, seperti Dewa Sakti, Purusa, Prakrti (Pradhana), Tri Guna, Maya sakti, dll. Demikian pula hakekat pengertian Iswara sebagai Atman atau Prakrti yang diibaratkan sebagai roda (cakra) dalam dunia lami. Penggunanan roda (cakra) sebagai perumpamaan tidak bertujuan mengidentifikasikan melainkan sekedar membantu orang awam untuk memahamiNya. Ini berarti dari alam abstrak dibawa kealam nyata, dari alam numenal kealam phenomenal.
Apa yang dikemukakan lebih jauh dalam Bab I adlaah mengenai tentang pentingnya mengetahui Brahman karena dengan pengetahuan ini akan membawa pada keselamatan bersama karena bersama-sama merasa sebagai satu persaudaraan dalam satu ikatan bathin dimana Brahman sebagai dasarnya. Dari sloka 10 bab I dapat diketahui bahwa nama Brahma tidak mutlak demikian karena Ia disebut pula dengan nama lain, misalnya, hara, yang artinya yang dipertuan atau yang dijunjung atau penguasa.
Dengan dasar pengetahuan itu maka timbul satu masalah yang harus dapat dijelaskan, yaitu, bagaimana menyadari hakekat yang bersifat numenal sebagai satu kebenaran mutlak karena apa yang ada ini sesungguhnya tidak kekal. Untuk menjelaskan hal ini maka Swetaswatara memberi keterangan dengan mempergunakan perumpamaan baru, yaitu, ibarat sang pencari api (Agni), ia harus berusaha mendapatkannya dengan cara menggosok-gosokkan dua batang kayu sampai keluar api. Hubungan antara dua potong kayu yang sama diibaratkan sebagai lingga-yoni, yang melahirkan api setelah diusahakan dengan kekuatan atau sakti. Apa yang dimaksud dengan kekuatan tenaga penggerak dalam hubungan ini adalah aksara OMKARA yaitu suara AUM yang dikatakan apabila pengucapannya dengan benar dan penuh keyakinan, tanpa henti-hentinya pada akhirnya akan mencapai titik puncak pada dhyanasamadhi waktu melakukan yoga dimana akhirnya kekuatan itu mempunyai kemampuan untuk memperlihatkan apa yang dicari didalam hati atau pikiran, suatu bentuk tertentu yang merupakan hakekat yang dicari-cari. Yang tampak kelihatan itulah yang diberi nama dengan nama Iswara atau Dewata (Ista Dewata) sebagai Godhead. Hakekat itulah yang dicari dan yang tidak diketahui oleh orang yang awidya, yang tidak berkeyakinan karena tidak yakin akan kebenaran itu sehingga mudah putus asa dan gagal untuk mendapatkannya.
Adapun bab II, mencoba memberi penjelasan lebih lanjut tentang proses kejadian itu, satu proses panjang dalam mewujudkan bentuk (rupa) yang tidak mempunyai wujud, proses perubahan dari alam numenal kealam phenomenal, dari alam Sunya kealam nyata (bhawa). Sloka 1 memulai dengan pujian atau menghubungkan diri kepada yang tak nyata sebagai pemberi inspirasi atau yang memberi rangsangan pada pikiran dimana sang Perangsang itu disebut dengan nama Sawitri. Sawitri artinya yang memberi inspirasi dan sebagai alam phenomena digambarkan sebagai Dewi Fajar disanjung dan dipuji pada setiap subuh. Dengan pengaruh Sawitri, pengendali sang pikir maka tercapai satu bentuk atau rupa pada pikiran (manah) sehingga melahirkan bentuk sinar atau cahaya atau yang memancarkan terang. Dari pancaran itu melahirkan api. (Agni) yang kemudian diturunkan kedua (Prthiwi) yang lebih jauh kalau dikembalikan kepada perumpamaan itu, api timbul dari gosokkan dua buah kayu kering. Tentang sifat Sawitri dikemukakan bahwa beliau adalah penguasa alam surga (swarga) dan karena itu ilmu agama mengajarkan tentang bentuk surga yang digambarkan sebagai tempat yang terang dan didalam alam surga itu bersemayam semua para Dewa-dewa. Demikian pula makna doa atau puji-pujian sebagai rangsangan dan merupakan petunjuk jalan yang akan mengantarkan manusia kealam matahari.
Disamping hal-hal yang telah disebut diatas, bab ini juga menekankan akan pentingnya memahami pokok-pokok pengertian yoga-semadhi yang kalau dibiasakan akan mempunyai akibat baik karena bersifat ganda kepada yang mempraktekkannya, yaitu tidak saja membuka jalan menuju kepada jalan yang benar, jalan yang diridhoi atau disebut sebagai jalan menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga akan membantu mereka untuk melihat serta memahami hakekat Yang Maha Esa dengan segala nama sifatnya yang pluralistis dan berbeda dari manusia biasa.
Bab III pada hakekatnya menjelaskan makna kasunyataan tertinggi. Apakah sebagai Yang Maha Esa, hakekat yang kekal abadi, hakekat yang maha mengetahui serta menguasai seluruh ciptaan ini. Ia juga diperkenalkan dengan gelar Rudra, gelar yang paling umum dijumpai didalam Weda, jauh sebelum gelar Siswa diperkenalkan. Istilah Rudra sebagai gelar inipun pengertiannya tidak berbeda dari apa yang telah diberikan sebelumnya melainkan karena sifat kekuasaan yang hendak ditampilkan dilihat dari sifat lainnya Ia juga disebut Wiswa yang berarti hakekat Yang Maha Asa dan merupakan prabhawa.
Salah satu topik terpenting dalam bab ini adalah hakekat pengertian “Bhagawan” dengan mengibaratkannya sebagai diri kosmos dan didalam Rg weda semua dikenal dengan nama Wirat Purusa atau Maha Purusa. Pengertian inilah yang membawa pada satu pengertian dasar tentang pengindraan hakekat aspek transenden itu sebagai salah satu bentuk peningkatan pengertian dari numenal atau phenomenal.
Bab IV intinya mencoba menjelaskan sifat kemajemukan Yang Maha Esa yang tampaknya dalam dunia empirisis. Dengan demikian Ia adalah Agni, Ia adalah Aditya, Ia adalah Wayu, Ia adalah Candra, Ia adalah Praja Pati, Ia adalah laki-laki Ia adalah istri atau wanita, dll. Jadi yang berbeda-beda itu adalah bentuk nama sifat hakekat yang sama itu pula.
Bab V memulai menegaskan pengertian hakekat ke Esaan Tuhan Y.M.E yang diangap sebagai bentuk immanen dan sebagai penguasa tertinggi. Dalam hal ini konsep Godhead atau Dewata merupakan bentuk yang paling nyata dari sifat hakekat Tuhan Yang Maha Esa itu.
Bab VI mencoba merangkai hubungan pengertian antara bentuk immanen dengan bentuk permanen atau transcenden sebagai satu bentuk proses kosmos. Hakekat sifat transcenden itu digambarkan dengan satu keadaan tanpa cirri yang dapat membeda-bedakan, hakekat tanpa sifat dan karena itu tiada nama dan tidak ada bnetuk yang dapat digambarkan pada tingkat ini. Bila sampai pada tingkat pengertian itu maka tidak ada lagi keterikatan dan pada pikiran manusia tidak ada keterkaitan kecuali kekaryaan yang selaras dengan hukum kasunyataan itu. Tingkat inilah yang merupakan tingkat pencapaian moksa dan merupakan tujuan hidup teringgi dalam ajaran Hindu Dharma.
Zaman Upanisad
Kehidupan Agama Hindu pada zaman ini bersumber pada ajaran-ajaran upanisad yang tergolong sruti yang dijelaskan secara filosofis. Konsepsi panca sradha dijadikan titik tolak pembahasan oleh para Arif bijaksana dan para Rsi melalui Upanisad, yaitu duduk didekat kaki guru untuk mendengar wejangan-wejangan suci yang bersifat rahasia, ajaran-ajaran tersebut diberikan kepada murid-muridnya yang setia dan patuh. Tempat berguru dilaksanakan dengan sytem pasraman, yaitu terbatas dihutan, ajaran upanisad Rahasiopadesa atau Aranyaka yang berarti ajaran rahasia yang ditulis dihutan. Mengenai inti pokok dan isi upanisad yang diberikan adalah pembahasan hakekat panca sradha tattwa.
Jumlah semua kitab upanisad ada 108 dan tiap veda samhita mempunyai upanisad, antara lain:
Ø Rgveda, mempunyai Aitareya dan kausitaki upanisad.
Ø Samaveda, mempunyai chandogya, kena dan maitreyi upanisad.
Ø Yajurveda, mempunyai taittriya, svetas vatara, ksirika, brhadaranyakadan jabala upanisad.
Ø Atharvaveda, mempunyai prasna, mandukya dan atharvasira upanisad.
Tuntunan-tuntunan keagamaan pada zaman upanisad diarahkan untuk meninggalkan ikatan keduniawian dan kembali keasal sebagai tujuan akhir mencapai moksa untuk menyatu dengan Brahman. System hidup kerohanian melalui pasraman-pasraman itu kemudian menimbulkan munculnya berbagai aliran filsafat keagamaan yang masing-masing menunjukan cara atau jalan untuk mencapai moksa itu.
a. Kelompok astika yang disebut juga Sad Darsana meliputi :
a Nyaya
a Vaisiseka
a Mimamsa
a Samkhya
a Yoga
a Vedanta
b. Kelompok nastika meliputi :
a Budha
a Carvaka
a Jaina
0 komentar:
Posting Komentar